RSS

Wanita Ini Membuat KOIN RAKSASA Menggunakan 84.000 Koin!!

Wander Matrich, dari Grand Rapids, Michigan, menghabiskan tiga bulan membuat sebuah patung koin raksasa terbuat dari 84.000 koin.


Kisah tentang bagaimana seorang wanita ini berhasil menciptakan karya seni yang unik ini dimulai pada tahun 2006, ketika Matrich dan keluarganya akan melalui waktu yang sangat sulit. Dia baru saja bercerai, kehilangan rumahnya untuk penyitaan dan merupakan ibu pengangguran dari dua putri berusia 6 dan 9 tahun. Dia benar-benar menabung setiap sen dan anak-anaknya berkemah di isi celengan mereka, untuk membantu di saat-saat bermasalah. Koin-koin ini disimpan di teko air plastik, dan bahkan setelah Wander akhirnya menemukan pekerjaan, ia mengambil $ 20 dari setiap gaji, mengubahnya menjadi koin dan terus mengisinya.


Dia bekerja 10-14 jam sehari, selama tiga bulan, tetapi hasil akhirnya sangat menakjubkan, dan seniman otodidak ini berhasil menempati peringkat keenam dari ratusan peserta kontes ArtPrize, serta menarik perhatian Ripley's Believe It or Not, yang baru saja memperoleh koin raksasa. Hal ini terdiri dari 84.000 koin dengan 22 tabung perekat, berukuran 8 meter dengan diameter dan 10 kaki tinggi, dan berat kurang lebih 1.200 pound.
"Seni adalah satu-satunya cara aku bisa menceritakan sebuah massa orang cerita saya, saya ingin berbagi pesan bahwa siapapun dapat melakukan ini, Anda hanya perlu untuk memulai di suatu tempat. Yang penting bukan berapa banyak yang Anda lakukan, tapi berapa banyak anda menyimpan "Wander Matrich kata Ripley's.

Saya telah melihat karya seni koin besar sebelumnya, tapi ini mungkin yang paling mengesankan, terutama karena didukung oleh seperti cerita inspirasi.

Sumber : http://www.kas*kus.us/showthread.php?t=7004380

Baca Selengkapnya...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

IPS = Sejarah Kesultanan Pajang

1.SEJARAH

Kesultanan Pajang, adalah kerajaan suksesor Kesultanan Demak yang didirikan oleh Joko Tingkir. Pajang sebelumnya merupakan daerah kadipaten di bawah Kesultanan Demak. Situs keraton Pajang, diperkirakan berada di Kelurahan Pajang, Kota Surakarta.
Joko Tingkir adalah anak Ki Ageng Pengging, yang menurut dihukum mati oleh Sunan Kudus karena mengikuti ajaran Syekh Siti Jenar. Setelah ayahnya mangkat, Joko Tingkir kemudian dibesarkan oleh pamannya, Ki Ageng Tingkir. Setelah dewasa, ia diperintahkan pamannya untuk pergi ke Kutaraja Demak dan mengabdi ke Sultan yang berkuasa, yaitu Sultan Trenggono.

Dikisahkan bahwa pada saat ia datang ke kutaraja, sedang diadakan sayembara melawan banteng ketaton (banteng mengamuk). Joko Tingkir yang mengikuti sayembara tersebut dapat melumpuhkan banteng tersebut dengan satu kali pukulan saja. Karena kesaktiannya, Joko Tingkir diterima mengabdi dan akhirnya bahkan menjadi menantu Sultan Trenggono.

Setelah Sultan Trenggono wafat, anaknya Sunan Prawoto diangkat menjadi penggantinya. Akan tetapi ia kemudian meninggal terbunuh dalam intrik perebutan kekuasaan dengan keponakannya sendiri yaitu Arya Penangsang, adipati Jipang yang juga adalah murid Sunan Kudus. Arya Penangsang kemudian menjadi penguasa Demak, dan selanjutnya terjadilah perlawanan terhadap Arya Penangsang yang dipimpin oleh kadipaten Pajang. Waktu itu, Joko Tingkir telah menjadi adipati Pajang.

Dengan bantuan dari kadipaten-kadipaten lainnya yang juga tidak menyukai Arya Penangsang, Joko Tinggkir akhirnya berhasil membinasakan Arya Penangsang. Joko Tingkir kemudian memindahkan istana Demak ke Pajang, dan di sana ia mendirikan Kesultanan Pajang. Joko Tingkir sebagai raja bergelar Sultan Hadiwijaya (1568-1582), kedudukannya disahkan oleh Sunan Giri, segera mendapat pengakuan dari adipati-adipati di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Salah seorang anak Sunan Prawoto yaitu Arya Pangiri, diangkatnya menjadi adipati Demak. Sedangkan seseorang yang paling berjasa membantunya yaitu Ki Ageng Pemanahan (putra dari Ki Ageng Ngenis, dan cucu Ki Ageng Selo), diberinya imbalan daerah Mataram (sekitar Kota Gede, Yogyakarta) pada tahun 1558 untuk ditinggali.

Pemberian tanah di daerah Mataram oleh Joko Tingkir kepada Ki Ageng Pemanahan, seakan menjadi bumerang karena Mataram akan menghabisi kekuatan Pajang. Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian juga dikenal dengan panggilan Ki Gede Mataram, dalam waktu singkat mampu membuat Mataram beserta rakyatnya maju. Namun sebelum dapat ikut menikmati hasil, di tahun 1575 Ki Ageng Pemanahan meninggal dunia.




Usahanya kemudian dilanjutkan oleh anaknya yaitu Sutawijaya, yang merupakan ahli peperangan dan nantinya lebih dikenal dengan nama Senapati ing Alaga (panglima perang) atau Panembahan Senopati.

Tujuh tahun kemudian (1582) Joko Tingkir meninggal, dan Pangeran Benowo anak laki-laki tertuanya yang seharusnya menggantikannya, ternyata disingkirkan Arya Pangiri dan akhirnya hanya dijadikan adipati di Jipang. Pada tahun 1587, Sutawijaya (putra Ki Ageng Pemanahan), penguasa Mataram, menyatakan tidak loyal lagi pada Pajang.
Arya Pangiri diserang oleh Sutawijaya yang dibantu Pangeran Benowo. Ia merebut Pajang dan Arya Pangiri berhasil dikalahkan. Sutawijaya lalu memindahkan Karaton Pajang ke Mataram dan ia menjadi raja bergelar Panembahan Senopati (1575-1601). Pajang kemudian menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Sutawijaya.


2.RAJA-RAJA

1.Jaka Tingkir bergelar Sultan Hadiwijaya.
2.Arya Pangiri bergelar Nagawatipura
3.Pangeran Benawa bergelar Sultan Prabuwijaya

Baca Selengkapnya...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

IPS = Tanam Paksa

1.Sejarah Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan diCirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.

2.Aturan Dalam Tanam Paksa

Berikut adalah isi dari aturan tanam paksa
 Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
 Pembebasan tanah yang disediakan untuk cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran pajak.
 Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
 Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3 (tiga) bulan
 Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan akan dikembalikan kepada rakyat
 Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama, akan di tanggung pemerintah Belanda
 Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa kepada kepala desa

3.Kritikan/Kecaman Terhadap Tanam Paksa
Serangan-serangan dari orang-orang non-pemerintah mulai menggencar akibat terjadinya kelaparan dan kemiskinan yang terjadi menjelang akhir 1840-an di Grobogan,Demak,Cirebon. Gejala kelaparan ini diangkat ke permukaan dan dijadikan isu bahwa pemerintah telah melakukan eksploitasi yang berlebihan terhadap bumiputra Jawa. Muncullah orang-orang humanis maupun praktisi Liberal menyusun serangan-serangan strategisnya. Dari bidang sastra muncul Multatuli(Eduard Douwes Dekker), di lapangan jurnalistik muncul E.S.W. Roorda van Eisinga, dan di bidang politik dipimpin oleh Baron van Hoevell. Dari sinilah muncul gagasan politik etis.

Kritik kaum liberal
Usaha kaum liberal di negeri Belanda agar Tanam Paksa dihapuskan telah berhasil pada tahun1870, dengan diberlakukannya UU Agraria, Agrarische Wet. Namun tujuan yang hendak dicapai oleh kaum liberal tidak hanya terbatas pada penghapusan Tanam Paksa. Mereka mempunyai tujuan lebih lanjut.
Gerakan liberal di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Oleh karena itu kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah jangan ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban..


Kritik kaum humanis
Kondisi kemiskinan dan penindasan sejak tanam paksa dan UU Agraria, ini mendapat kritik dari para kaum humanis Belanda. Seorang Asisten Residen di Lebak, Banten, Eduard Douwes Dekker mengarang buku Max Havelaar (1860). Dalam bukunya Douwes Dekker menggunakan nama samaran Multatuli. Dalam buku itu diceritakan kondisi masyarakat petani yang menderita akibat tekanan pejabat Hindia Belanda.
Seorang anggota Raad van Indie, C. Th van Deventer membuat tulisan berjudul Een Eereschuld, yang membeberkan kemiskinan di tanah jajahan Hindia-Belanda. Tulisan ini dimuat dalam majalah De Gids yang terbit tahun 1899. Van Deventer dalam bukunya menghimbau kepada Pemerintah Belanda, agar memperhatikan penghidupan rakyat di tanah jajahannya. Dasar pemikiran van Deventer ini kemudian berkembang menjadi Politik Etis.

4.Dampak dari Tanam Paksa

Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara serius.
Dalam bidang sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.

5.Tokoh-Tokoh dalam Tanam Paksa

A.Edward Douwes Dekker
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat Sistem Tanam Paksa dan berusaha membelanya. Eduard Douwes Dekker pulang ke Negeri Belanda dan mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860

B.Baron Van Hoevell
Semula Baron van Hoevell tinggal di Batavia (Jakarta), kemudian pulang ke Negeri Belanda dan menjadi anggota parlemen. Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat Sistem Tanam Paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang Sistem Tanam Paksa. Fransen van de Putte menulis sebuah buku yang terkenal dengan judul Suiker Contracten (Kontrak-Kontrak Gula). Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan Sistem Tanam Paksa melalui parlemen Belanda.

C.Van den Bosch
Van den Bosch (lahir di Herwijnen, Lingewaal, 1 Februari 1780 – meninggal diDen Haag, 28 Januari 1844 pada umur 63 tahun) adalah Gubernur-Jendral Hindia-Belanda yang ke-43. Ia memerintah antara tahun 1830 – 1834. Pada masa pemerintahannya Tanam Paksa (Cultuurstelsel) mulai direalisasi, setelah sebelumnya hanya merupakan konsep kajian yang dibuat untuk menambah kas pemerintah kolonial maupun negara induk Belanda yang kehabisan dana karena peperangan di Eropa maupun daerah koloni (terutama di Jawa dan Pulau Sumatera).

Baca Selengkapnya...
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS